IKATAN METALIK I
(Tugas Makalah Anorganik II)
Penulis
Kelompok : 1 (Satu)
Anggota : 1. Desria Monica (1413023014)
2. Vina Rosalina (1313023086)
Program
Studi : Pendidikan Kimia (B)
Mata
Kuliah : Kimia Anorganik II
Dosen : 1. Dra.
Nina Kadaritna,M.Si.
2.
M. Mahfudz Fauzi S, S.Pd. M.Sc.
PENDIDIKAN
KIMIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2016
DAFTAR ISI
Halaman
COVER................................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
I.
PENDAHULUAN
II.
PEMBAHASAN
2.1
Teori
Elektron Bebas (Lautan Elektron).......................................... 2
2.2
Teori Ikatan
Valensi......................................................................... 5
2.3 Teori
Orbital Molekul........................................................................ 8
2.3.1 Konstruksi Diagram Energi dan Konfigurasi Elektronik SpesiesDiatomik 10
2.3.2 Konstruksi Diagram Energi Logam...................................... 11
2.4 Teori
Pita......................................................................................... 12
2.4.1 Semikonduktor...................................................................... 17
2.4.2 Isolator.................................................................................. 23
2.4.3 Superkonduktor.................................................................... 25
III.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan..................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat
Allah SWT yang mana berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Kimia Anorganik II tentang
“Ikatan Metalik I”
dengan tepat waktu.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Kimia Anorganik II
Ibu Dra.
Nina Kadaritna,M.Si.dan BapakM. Mahfudz Fauzi S, S.Pd. M.Sc.
yang telah membimbing kami selama mata kuliah kimia anorganik II.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga menjadi
pembelajaran bagi kami agar terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Demikian,
semoga makalah ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan bermanfaat bagi kita
semua.
Bandar Lampung, 08 Maret 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
mempelajari ilmu kimia, kita sudah banyak mengenal berbagai macam ikatan, salah
satu di antaranya adalah ikatan logam (ikatan metalik).Ikatan logam
didefinisikan sebagai ikatan antar atom logam tanpa membentuk suatu
molekul. Teori ikatan metalik ini yang
nantinya akan menjelaskan mengenai sifat-sifat utama logam seperti dapat
menghantarkan listrik dan panas, mempunyai kilap khusus, titik didih dan titik
leleh tinggi, mempunyai sifat dapat ditempa, dibengkokkan dan tersusun dalam
kristal logam. Di antara
ikatan metalik yang ada, yang paling sederhana adalah teori elektron bebas
(lautan elektron).Menurut teori ini, di dalam kristal
logam, setiap atom melepaskan elektron valensinya sehingga terbentuk awan
elektron dan ion bermuatan positif yang tersusun rapat dalam awan elektron
tersebut. Elektron dalam lautan ini adalah bebas (tidak terikat pada ion
manapun). Karena elektron valensi tidak terikat pada salah satu ion logam,
tetapi terdelokalisasi terhadap semua ion logam, maka elektron valensi tersebut
bebas bergerak keseluruh bagian dari kristal logam. Gerakan elektron valensi inilah yang membawa dan
menyampikan arus listrik serta
memindahkan kalor dalam logam.
Teori
orbital molekular merupakan teori yang mampu menjelaskan bahwa ikatan kovalen
ternyata mampu menyediakan model ikatan metalik yang lebih komprehensif yang
sering disebut teori pita (band theory).
Tataan atom-atom dalam kristal logam dapat ditafsirkan dalam bentuk bola-bola
keras, baik pada logam maupun ionik padatan. Selain itu teori pita jug
dapat menjelaskan mengenai sifat logam sebagai konduktor, semikonduktor dan
isolator.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Elektron Bebas (Lautan
Elektron)
Teori
ini dikemukakan oleh Drude dan Lorentz pada awal abad ke-20. Menurut teori ini,
di dalam kristal logam, setiap atom melepaskan elektron valensinya sehingga
terbentuk awan elektron dan ion bermuatan positif yang tersusun rapat dalam
awan elektron tersebut. Elektron dalam lautan ini adalah bebas (tidak terikat
pada ion manapun). Karena elektron valensi tidak terikat pada salah satu ion
logam, tetapi terdelokalisasi terhadap semua ion logam, maka elektron valensi
tersebut bebas bergerak keseluruh bagian dari kristal logam, sama halnya dengan
molekul-molekul gas yang dapat bergerak bebas dalam ruangan tertentu.
Gambar
2.1. Ikatan logam menurut Teori Awan Elektron
Misalnya
logam magnesium yang memiliki 2 elektron valensi. Berdasarkan model awan
elektron, logam magnesium dapat dianggap terdiri dari ion positif Mg2+
yang tersusun secara teratur, berulang dan disekitarnya terdapat awan atau
lautan elektron yang dibentuk dari elektron valensi magnesium.
Gambar 2.2. Ikatan logam
pada Logam Magnesium
Teori
awan atau lautan elektron pada ikatan logam itu didefinisikan sebagai gaya
tarik antara muatan positif dari ion-ion logam (kation logam) dengan muatan
negatif yang terbentuk dari elektron-elektron valensi dari atom-atom logam.
Jadi logam yang memiliki elektron valensi lebih banyak akan menghasilkan kation
dengan muatan positif yang lebih besar dan awan elektron dengan jumlah elektron
yang lebih banyak atau lebih rapat. Hal ini menyebabkan logam memiliki ikatan
yang lebih kuat dibanding logam yang tersusun dari atom-atom logam dengan
jumlah elektron valensi lebih sedikit. Teori teori elektron bebas (lautan elektron) atau awan elektron ini juga dapat menjelaskan
berbagai sifat fisika dari logam, yaitu:
1. Logam
dapat ditempa, dapat dibengkokkan, direntangkan dan tidak rapuh
Hal
ini disebabkan atom-atom logam tersusun secara teratur dan rapat sehingga
ketika diberi tekanan atom-atom tersebut dapat tergelincir di atas lapisan atom
yang lain, serta
atom-atom pada logam semua sejenis sehingga atom-atom yang bergeser saat diberi
tekanan seolah-olah tetap pada kedudukan yang sama. Dengan kata lain apabila
sebuah ikatan logam putus maka akan segera terbentuk ikatan logam baru.
Gambar 2.3. Sifat
fisika logam dapat dibegkokkan dan ditempa
2.
Sifat
Mengkilap
Di dalam ikatan logam, terdapat elektron-elektron
bebas. Sewaktu cahaya jatuh pada permukaan logam, maka elektron-elektron bebas
akan menyerap energi cahaya tersebut. Elektron-elektron akan melepas kembali
energi tersebut dalam bentuk radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang sama
dengan frekuensi cahaya awal. Oleh karena frekuensinya sama, maka kita
melihatnya sebagai pantulan cahaya yang datang. Pantulan cahaya tersebut
memberikan permukaan logam tampak mengkilap. Bila cahaya tampak jatuh pada
permukaan logam, sebagian elektron valensi yang mudah bergerak tersebut akan
tereksitasi. Ketika elektron yang tereksitasi tersebut kembali kepada keadaan
dasarnya, maka energi cahaya dengan panjang gelombang tertentu akan dipancarkan
kembali. Peristiwa ini dapat menimbulkan sifat kilap yang khas pada logam.
3.
Daya
hantar listrik
Di dalam ikatan logam,
terdapat elektron valensi yang bebas (mudah
bergerak) yang dapat membawa muatan listrik. Jika diberi suatu beda
tegangan, maka elektron-elektron ini akan bergerak dari kutub negatif menjadi
kutub positif.
Gambar 2.4Perpindahan elektron dalam medan listrik menurut model
lautan elektron
4.
Daya
hantar panas
Elektron-elektron yang bergerak bebas di dalam kristal
logam memiliki energi kinetik. Jika dipanaskan, elektron-elektron akan
memperoleh energi kinetik yang cukup untuk dapat bergerak/bervibrasi dengan
cepat. Dalamm pergerakannya, elektron-elektron tersebut akan bertumbukkan
dengan elektron-elektron lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya transfer
energi dari bagian bersuhu tinggi ke
bagian bersuhu rendah.
Gambar 2.5 Sifat logam
menghantarkan panas
5.
Titik didih dan titik leleh tinggi
Pada logam,
ikatan logam tidak sepenuhnya putus sampai logam mendidih, ini menunjukkan
bahwa ikatan logam memiliki titik didih yang tinggi.Hal ini dikarenakan
atom-atom logam terikat oleh ikatan logam yang kuat.Untuk mengatasi ikatan
tersebut, diperlukan energi dalam jumlah yang besar.
2.2 Teori Ikatan Valensi
Pada
teori ikatan valensi melibatkan pemakaian bersama pasangan elektron oleh dua
atom(masing-masing dengan orbital valensi dan sebuah elektron) saling mendekati
sampai jarak tertentu sehingga orbital valensi dari dua atom tersebut saling
tumpang tindih dan dua buah elektron
yang ada saling berpasangan atau memiliki spin yang berlawanan.Dua buah
electron yang berpasangan tersebut ditarik oleh inti masing-masing atom
sehingga dua buah atom tersebut terikat satu dengan yang lain. Apabila dua atom Li memebentuk
molekul Li2 dalam fase gas maka terjadi pemakaian bersama pasangan
elektron seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.
Pada
molekul Li2 pasangan elektron tersebut adalah terlokalisasi antara
dua atom Li yang membentuk ikatan kovalen. Orde ikatan pada Li2
adalah 1.
Di
dalam kristal logam litium, atom-atom Li membentuk susunan kubus berpusat
badan (bcc), dimana setiap atom
litium dikelilingi oleh 8 atom litium terdekat dengan jarak yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam kristalnya setiap atom litium membentuk 8 ikatan
dengan 8 atom litium yang ada di sekitarnya. Karena litium hanya memiliki
sebuah elektron pada kulit valensinya maka sebuah atom litium tidak mungkin
membentuk delapan ikatan kovalen dengan 8 atom litiium lain yang mengelilinya.
Atom litium hanya mampu membentuk satu ikatan kovalen dengan salah satu atom
dari 8 (delapan) atom yang mengelilinginya. Sebagai konsekuensinya pasangan
elektron yang ada pada setiap atom litium tidak dapat terlokalisasi antara dua
atom, melainkan terdelokalisasi pada 8 atom seperti ditunjukkan dengan delapan
struktur kanonis pada Gambar 2.6
Gambar 2.6Resonansi ikatan kovalen antara satu atom Li dengan 8 atom
Li yang ada disekitarnya
Akibat
delokalisasi ini maka orde ikatan Li – Li pada logam Li adalah 1/8. Sebagai
konsekuensiya ikatan Li – Li pada logam Li harus lebih panjang dibandingkan
ikatan Li – Li pada molekul Li2. Konsekuensi yang sama juga berlaku
untuk logam alkali yang lain seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Tabel
1.1. Panjang ikatan pada logam alkali dan pada molekul diatomiknya.
Logam
|
Panjang
ikatan (pm)
|
Molekul
diatomik dalam fase gas
|
Panjang
ikatan (pm)
|
Li
|
304
|
Li2
|
267
|
Na
|
372
|
Na2
|
308
|
K
|
462
|
K2
|
392
|
Rb
|
486
|
Rb2
|
422
|
Cs
|
524
|
Cs2
|
450
|
Di
dalam logam litium ikatan-ikatan kovalen yangadadapat terdelokalisasi ke
atom-atom yang lain dalam kristal seperti diilustrasikan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7.Delokalisasi sebuah ikatan kovalen
(garis tebal) ke atom-atom yang lain dalam kristal logam litium
Akibat
delokalisasi semua ikatan kovalen yang ada, struktur kanonis dari logam litium
yang dapat digambarkan jumlahnya menjadi sangat banyak. Sebagai konsekuensinya
ikatan antara atom-atom Li pada logam litium menjadi semakin kuat, melebihi
kekuatan ikatan pada molekul diatomiknya (Li2). Untuk logam alkali perbandingan
kekuatan ikatan tersebut ditunjukkan dengan perbandingan harga entalpi
atomisasi dari logam dan entalpi atomisasi molekul diatomiknya yang diberikan
pada Tabel 1.2.
Tabel
1.2 Entalpi atomisasi logam alkali dan entalpi atomisasi molekul diatomiknya.
Logam
|
Entalpi
atomisasi logam alkali (kJ/mol)
|
Molekul
diatoik logam alkali dalam fase gas
|
Entalpi
atomisasi molekul diatomik logam alkali (kJ/mol)
|
Li
|
304
|
Li2
|
267
|
Na
|
372
|
Na2
|
308
|
K
|
462
|
K2
|
392
|
Rb
|
486
|
Rb2
|
422
|
Cs
|
524
|
Cs2
|
450
|
Akibat
dapatnya semua ikatan kovalen terdelokalisasi ke atom-atom yang lain di dalam
kristal maka elektron valensi atom-atom litium tersebut dapat dianggap bersifat
mudah bergerak, sehingga
memungkinkan untuk dapatnya logam litium
menghantarkan arus listrik apabila pada logam tersebut diberi beda potensial.
2.3 Teori Orbital Molekul
Teori
orbital molekular mengandaikan bahwa apabila dua atom atau lebih bergabung
membentuk suatu spesies, maka spesies ini tidak lagi memiliki sifat orbital
atomik secara individual, melainkan membentuk orbital molekular baru. Elektron
yang terlibat dalam ikatan dipengaruhi secara serentak oleh kedua inti atom
yang bergabung. Pendekatan sederhana menyarankan bahwa hanya elektron - elektron dalam orbital atomik luar
saja yang dianggap membentuk ikatan, sehingga elektron ikatan ini berada dalam
orbital molekular sedangkan elektron-elektron
dalam orbital dalam masih tetap sebagaimana keadaannya dalam masing masing atom
secara individual.
Menurut
pendekatan kombinasi lurus (linear combination),
jumlah orbital molekular yang terbentuk sama dengan jumlah orbital atomik yang
bergabung. Bila dua atom yang bergabung masing-masing menyediakan satu orbital
atomik maka dihasilkan dua orbital molekular, salah satu merupakan kombinasi
jumlahan kedua orbital atomik yang saling menguatkan dan lainnya kombinasi
kurangan yang saling meniadakan. Kombinasi jumlahan menghasilkan orbital
molekular ikat (bonding) yang
mempunyai energi lebih rendah, dan kombinasi kurangan menghasilkan orbital
molekular antiikat (antibonding) yang
mempunyai energi lebih tinggi. Hal ini bukan berarti bahwa semua orbital
molekular ini harus ditempati oleh elektron, melainkan elektron mengisi orbital
orbital molekular menurut tingkat energinya dari rendah ke tinggi. Dengan demikian,
terdapat perbedaan jumlah elektron dalam orbital antiikat; numerik perbedaan
ini dibagi dengan jumlah atom yang berikatan disebut derajat ikatan / orde
ikatan (bond order) yang dapat
dipakai sebagai petunjuk kekuatan ikatan yang bersangkutan.
Orbital
molekular ikat adalah orbital yang rapatan elektron ikat terpusat mendekat pada
daerah antara kedua inti atom yang bergabung, dan dengan demikian menghasilkan
situasi yang lebih stabil. Orbital molekular antiikat adalah orbital di mana
rapatan elektron ikat terpusat menjauhi daerah antaraa kedua inti atom yang
bergabung, dan dengan demikian menghasilakan situasi yang kurang stabil.
Relative
terhadap energi orbital atomik, penurunan energi orbital molekular ikat (
sama dengan kenaikan energi orbital molekular
antiikat (Gambar 1.1a). Untuk molekul homonuklir, orbital atomik yang sama mempunyai tingkat energi yang
sam pula, tetapi dalam molekul heteronuklir menjadi lebih rendah bagi atom yang
bersifat lebih elektronegatif (Gambar 1.1b). Jika perbedaan elektronegatifitas
antara kedua atom yang bergabung ini sangat besar, yang berarti
relatif lebih kecil, karakteristik orbital
molekular ikat praktis didominasi oleh orbital atomik dari atom yang lebih elektronegatif dan
sebaliknya orbital molekular antiikat didominasi oleh orbital atomik dari atom
yang bersifat kurang elektronegatif. Jika pada daerah tumpang-tindih (overlap) ada orbital atomik yang tidak berinteraksi dalam
pembentukan ikatan, orbital molekular yang dihasilkan disebut orbital nonikat (nonbonding) dan mempunyai tingkat
energi tetap sama dengan orbital atomik dari atom yang bersangkutan.
2.3.1 Konstruksi
Diagram Energi dan Konfigurasi Elektronik SpesiesDiatomik
Diagram orbital molekular untuk molekul diatomik
homonuklir periode dua, Li2 hingga F2 dapat disusun menurut kerangka 1.3a dengan energi πp>
σp namun diagram ini mengabaikan adanya interaksi orbital s dengan
orbital p dari atom yang lain dan ini hanya dapat berlaku jika perbedaan
orbital 2s dan 2p cukup besar seperti dalam atom oksigen dan fluorin. Perbedaan
energi 2s-2p unsur Li-Ne naik secara nyata sebagaimana dinyatakan dengan
kenaikan potensial ionisasi, 2eV-27eV.
Oleh karena itu untuk unsur Li hingga N, interaksi s-p’ dan s’-p tidak dapat diabaikan lagi karena perbedaan
energi 2s-2p dianggap kecil, dan akibatnya orbital molekular σp berinteraksi dengan
orbital 2s sehingga berakibat lanjut naiknya energi yang bersangkutan hingga
menjadi lebih tinggi daripada energi πp (sesuai pada gambar 1.3b) berikut ini.
Perlu diingat bahwa orbital-orbital “dalam” tidak pernah berperan pada pembentukan orbital molekular. Konfigurasi
elektronik
ini (sesuai dengan gambar 1.4) dalam keadaan dasar, ground statemenunjukkan adanya dua elektron tak
berpasangan dalam molekul oksigen (cair) sehingga dapat menjelaskan sifat
paramagnetik molekul ini, dan inilah yang merupakan salah satu keunggulan dari
teori orbital molekular dibanding dengan teori ikatan yang lain. Di bawah ini
adalah diagram perubahan (kualitatif) energi orbital molekular spesies diatomik
homonuklir unsur-unsur periode dua.
2.3.2 Konstruksi
Diagram Energi Logam
Konstruksi diagram energi orbital molekular,
misalnya untuk dua atom Li dalam fase gas yang membentuk molekul Li2. Selanjutnya
apabila terdapat empat orbital atom 2s dari empat atom Li bergabung dalam
molekul Li4 maka akan diperoleh empat orbital molekular σ2s
yaitu dua orbital ikat dan dua yang lainnya adalah antiikat. Namun agar tidak
melanggar hukum kuantum, energi orbital-orbital ini tidak setingkat, artinya
energi orbital σ2syang satu tidak boleh mempunyai energi yang persis
sama dengan orbital σ2syang lain. Oleh karena itu, konstruksi
diagram energi orbital molekular Li4 dapat dilukiskan seperti gambar
1.5a.
Dalam kristal logam,
sejumlah besar (n) orbital atomik dari n atom logam bergabung. Orbital-orbital
ini berinteraksi secara tiga dimensional membentuk n orbital molekular dengan
prinsip yang sama seperti halnya pada pembentukan orbital molekular Li4
tersebut. Karena demikian banyaknya tingkat energi orbital-orbital ini, jarak
tingkat yang satu dengan yang lain menjadi sedemikian dekatnya sehingga
menghasilkan suatu bentuk kontinu (sinambung) atau “pita”. Dengan adanya pita
energi tersebut, sifat konduktivitas listrik suatu logam secara sederhana dapat
dijelaskan yaitu bahwa sebuah elektron mampu mencapai ke tingkat-tingkat energi
orbital antiikat yang kosong dan sangat sedikit lebih tinggi energinya dan
kemudian bergerak bebas melalui struktur logam sebagai arus listrik. Secara
sama, sifat konduktivitas termal dapat dijelaskan oleh karena adanya
elektron-elektron bebas melalui seluruh bangun kristalnya.
2.4 Teori Pita
Sifat logam salah satunya adalah dapat menghantarkan
panas dan listrik, logam yang tidak begitu baik menghantarkan
listrik disebut semikonduktordan
logam
yang dapat menghantarkan
listrik dengan baik yaitu konduktor. Sifat logam konduktor, semikonduktor ini dapat dijelaskan melalui Teori Pita(bond theory).
Kombinasi linear orbital-orbital terluar atom-atom logam
menghasilkan orbital-orbital bonding dan orbital-orbital antibonding dengan
tingkat energi yang berdekatan yang disebut pita energi. Pita energi ini
sebetulnya terdiri dari dua bagian, yaitu separuh pita bagian bawah yang
terbetuk dari orbital-orbital bonding yang disebut dengan pita bonding dan
separuh pita bagian atas yang terbentuk dari orbital-orbital anti bonding yang
disebut dengan pita anti bonding. Untuk logam Litium pita-pita tersebut
ditunjukkan pada Gambar 4.1
Gambar 4.1Pita-pita bonding dan
pita-pita antibonding pada logam litium
Pada logam pita bonding dan pita antibonding yang terbentuk
dari kombinasi linear orbital-orbital atom yang sama adalah menyatu. Pita
energi terisi penuh bila orbital-orbital atom pembentuknya terisi penuh
elektron. Sebaliknya, pita energi tidak terisi penuh bila orbital-orbital atom
pembentuknya tidak terisi penuh elektron.
Pita
energi tertinggi yang berisi penuh elektron disebut pita valensi. Pita energi
tertinggi berikutnya tempat
elektron dapat menjelajah secara bebas sebagai penghantar listrik disebut pita
konduksi. Mengapa demikian? Pita konduksi terdiri atas elektron-elektron yang
disebut elektron konduksi yaitu elektron yang mempunyai cukup energi sehingga
tidak tertarik balik oleh tarikan ion positif; elektron-elektron lainnya pada
tingkat energi yang lebih rendah dalam pita konduksi membutuhkan energi yang
lebih besar untuk mencapai pita kosong dan umumnya tidak berpartisipasi dalam
sifat hantaran. Dalam pengaruh medan listrik, elektron konduksi dipercepat ke
arah medan dan hasilnya adalah aliran elektron. Pita konduksi ini ada yang
kosong, ada yang berisi elektron banyak, dan ada yang setengah penuh
sebagaimana ditemui pada logam.
Pita
energi ada yang saling terpisah satu sama lain dengan menghasilkan celah energi terlarang (forbidden energi gap). Celah energi
antara pita valensi dengan pita konduksi berperan penting dalam menentukan
sifat hantaran listrik. Celah energi ini ukurannya dapat lebar ataupun sempit.
Celah yang lebar tidak memungkinkanelektron melintasinya (yakni insulator) dan
celah yang sempit memungkinkan elektron melintasinya ke pita energi yang lebih
tinggi sebagai penghantar listrik (yakni konduktor). Adanya celah energi ini
merupakan konsekuensi sifat mekanika kuantum elektron, yaitu memungkinkan
peluang mendapatkan elektron dengan nilai nol. Selain itu pita energi ada juga
yang saling tumpang tindih. Sifat hantaran listrik konduktor (logam), insulator
(nonlogam), dan semikonduktor dapat dijelaskan berdasarkan susunan pita-pita
energi tersebut dalam bahan yang bersangkutan.
Untuk
logam-logam golongan 1, pita konduksi terdiri atas setengah pita isi penuh
elektron dan setengah pita kosong. Kedua bagian tengahan pita energi ini tentu
sangat dekat satu sama lain karena tidak ada celah energi, sehingga
elektron-elektron dalam pita konduksi ini dengan mudah mampu menjelajahi pita
kosong sebagai pembawa arus listrik.
Elektron-elektron
berperan dalam kondukis hanya jika berada dalam pita yang terisi secara
persial. Dalam pita yang terisi penuh dengan tanpa adanya pita kosong cukup
dekat, elektron-elektron hanya bergerak saling bertukar tempat. Dalam pengaruh
medan listrik elektron-elektron terbagi menjadi dua bagian yang sama jumlahnya
dengan dua arah yang menghasilkan resutante nol, tanpa konduksi. Untuk
unsur-unsur golongan 2, elektron-elektron dengan energi tertinggi (ns2)
menempati secara penuh pita valensi. Sepintas elektron-elektron ini bukan
elektron konduksi. Namun, pita konduksi kosong berikutnya tersusun oleh orbital
np yang ternyata tumpang tindih dengan pita valensi, sehingga elektron pada
pita valensi mampu berperan sebagai elektron konduksi, menjelajah bebas pada
orbital np dalam pita konduksi.
Elektron-elektron
yang menempati energi dibawah pita valensi disebut elektron inti (core elektrons); elektron-lektron ini
terikat kuat oleh inti atom yang bersangkutan dan dianggap kurang berperan
dalam menentukan sifat konduktivitas. Jadi untuk (Be)n misalnya,
elektron-elektron inti menempati pita energi yang tersusun oleh orbital-orbital
(1s2)n’,
yang posisinya dibawah pita valensi (2s2)n sebagaimana
ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 1.6Diagram orbital molekular
Dengan
adanya pita energi tersebut sifat konduktivitas listrik suatu logam secara
sederhana dapat dijelaskan, yaitu bahwa sebuah elektron mampu mencapai ke
tingkat-tingkat energi orbital antiikat yang kosong dengan energi yang sangat
sedikit lebih tinggi, dan kemudian bergerak bebas melalui struktur logam
sebagai arus listrik. Secara sama, sifat konduktivitas termal dapat dijelaskan
oleh karena adanya elektron-elektron bebas yang mampu membawa energi secara
translasi melalui seluruh bangun kristalnya.
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam teori atom, cahaya diserap dan dipancarkan apabila
elektron pindah dari tingkat energi yang satu ke tingkat energi yang lain, dan
pancaran cahaya ini diamati sebagai spectrum garis. Menurut teori pita
tersebut, dalam logam terdapat tingkat-tingkat energi yang sangat banyak
jumlahnya, sehingga jumlah kemungkinan terjadinya transisi elektroniknya juga
tak terbatas. Akibatnya, permukaan atom-atom logam dapat menyerap cahaya dengan
segala panjang gelombang dan kemudian memancarkan kembali dengan panjang
gelombang yang sama karena elektron membebaskan energi yang sama ketika kembali
ke peringkat dasarnya (ground state). Jadi,
teori pita ini mampu pula menjelaskan sifat reflektivitas logam.
Sifat
metalik ternyata masih dapat dipertahankan pada fase cair; pada fase ini adanya
tumpang tindih antar orbital yang menghasilkan sifat metalik seperti halnyapada
fase padatnya masih dapat dipertahankan, tetapi menjadi lenyap pada fase gas.
Jadi, titik didih suatu logam merupakan termperatur terjadinya pemutusan
ikatan-ikatan metalik, dan ini merupakan petunjuk kekuatan ikatan metalik yang
bersangkutan. Sebagai contoh, Natrium meleleh pada 98ºC tetapi baru mendidih
pada 890ºC.
Konstruksi
diagram orbital molekular golongan 2 dapat diwakili unsur Berilium, Be. Unsur
ini mempunyai sifat mirip logam atau semilogam.
Dengan konfigurasi elektronik [He}2s2 , kedua orbital molekular ikat
dan antiikat
* berisi elektron penuh, sehingga dalam
daerah pita energi
* tidak lagi terdapat daerah kosong
tempat elektron dapat bergerak bebas (Gambar 1.6). Namun demikian, orbital
kosong 2p membentuk pita energi 2p yang sedikit bertumpang tindih dengan pita
2s, dan ini memungkinkan elektron-elektron “menjelajah” dalam bangun logamnya.
Akibatnya, berilium mempunyai konduktivitaslistrik yang tinggi, meskipun
sifat-sifat kimiawinya lebih mendekati sebagai semilogam.
Teori
orbital molekular yang menghasilkan pita energi dapat diterapkan tidak hanya
pada logam melainkan juga pada setiap bahan padatan karna orbital-orbital dari
atom-atom secara indvidu dapat saling mendekat untuk mengadakan tumpang tindih.
Ukiran celah energi antara pita valensi dan pita konduksi bervariasi dalam
bahan yang berbeda. Dalam insulator, suatu
bahan yang tidak menghantar listrik, celah energi sedemikian lebar sehingga
elektron dalam pita valensi tidak mungkin dapat melintasinya. Oleh karena dalam
insulator pita valensi penuh terisi elektron, aliran elektron tidak mungkin
berlangsung sehingga sifat konduksi tidak terjadi. Dalam unsur semikonduktor,
juga terdapat celah energi antara pita valensi dan pita konduksi, namun celah
ini lebih sempit dibandingkan dengan celah dalam insulator. Bahakan pada
termperatur kamar, beberapa elektron mempunyai energi yang cukup untuk
melompati celah ini dan masuk kedalam pita konduksi tempat elektron ini mamapu
menjelajah bebas. Celah energi ini untuk beberapa bahan ditunjukkan dalam tabel
berikut ini.
Tabel
1.2 Celah energi beberapa bahan (dalam kJ mol-1)
Bahan
|
Celah energi
|
Bahan
|
Celah energi
|
B
|
320
|
Intan
|
502
|
Si
|
100
|
In, P
|
130
|
Ge
|
67
|
Ga, As
|
140
|
As(gray)
|
120
|
In, Sb
|
20
|
-Sb
|
10
|
Cd, Te
|
140
|
Te
|
37
|
|
|
2.4.1 Semikonduktor
Semikonduktor
adalah suatu padatan, bahan kristalin dengan konduktivitas listrik intermediat
antara
metal dan insulator.Sifat konduktivitas semikonduktor tidak sebaik metal karena
jumlah elektron-elektron yang terdapat dalam pita konduksi lebih sedikit
dibanding dengan jumlah elektron ini dalam metal. Dengan kata lain
semikonduktor mempunyai harga tahanan listrik lebih tinggi daripada tahanan
listrik metal. Konduktivitas (dengan unit ohm-1 cm-1 )
adalah kebalikan dari tahanan. Sebagai
contoh, aluminium mempunyai tahanan listrik 2,7.10-6 ohm cm pada
20ºC; silikon murni mempunyai tahanan listrik 105 ohm cm, sedangkan
intan murni(insulator) mempunyai tahanan listrik yang sangat tinggi, 1014 ohm
cm, pada 15ºC. Semikonduktor mempunyai tahanan listrik pada rentang 10-3
- 108 ohm cm.
Termperatur
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap sifat hantaran listrik suatu logam
dengan semikonduktor. Dalam kisi kristal metalik, kenaikan termperatur
mengakibatkan meningkatnya frekuensivibrasi ion-ion pada posisi kisinya. Hal
ini menyebabkan elektron yang bergerak melalui metal dibawah pengaruh medan
listrik menjadi meningkat peluangnya dalam menumbuk ion. Akibatnya, untuk logam
kenaikan termperatur meningkatkan
tahanan listriknya. Tetapi untuk semikonduktor, kenaikkan termperatur
menyebabkan bertambahnya jumlah elektron yang memperoleh cukup energi untuk
melompat keluar dari pita valensi ke pita konduksi. Dengan demikian, kenaikan
termperatur mengakibatkan penurunan tahanan listrik semikonduktor. Seberapa
jauh perubahan tahanan listrik oleh karena perubahan termperatur ini bagi
semikonduktor berbeda satu lain. Secara umum, konduktivitas semikonduktor
menyerupai metal pada termperatur tinggi, tetapi menyerupai insulator pada
temperatur rendah.
Teori
pita juga dapat dipakai untuk menjelaskan beberapa senyawa bersifat sebagai
konduktor listrik, beberapa lainnya tidak dan beberapa yang lainnya tidak dan
beberapa yang lain semikonduktor. Dalam logam, pita-pita energi elektron
bertumpang tindih dan mengizinkan elektron bergerak bebas melalui pita dalam
seluruh struktur kristalnya. Dalam nonmetal, pita-pita terpisah cukup lebar dan
menghasilkan celah energi sehingga tidak memungkinkan elektron mampu bergerak
bebas (Gambar 1.7a); unsur nonmetal ini dikenal sebagai insulator. Dalam
beberapa unsur, celah atau gap energi antara pita-pita cukup kecil sehingga
memungkinkan hanya sedikit elektron dapat tereksitasi kepita kosong diatasnya
(Gambar 1.7b) unsur demikian ini dikenal sebagai semikonduktor instrinsik.
Penggolongan Semikonduktor
Semikonduktor
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu semikonduktor instrinsik (instrinsic semiconductor) dan semikonduktor
ekstrinsik (ekstrinsic semiconductor).Semikonduktor
instrinsik dapat berupa semikonduktor instrinsik unsur dan semikonduktor
instrinsik senyawa, sedangkan semikonduktor ekstrinsik dapat berupa
semikonduktor tipe-p dan
semikonduktor tipe-n.
Silikon merupan
unsur yang paling banyak digunakan sebagai bahan dasar dalam membuat
semikonduktor.Silikon merupakan bahan yang sifatnya keras, padatan berwarna
abu-abu yang mengkilat, dan melebur pada suhu 1410ºC.Silikon dibuat dengan
mereduksi kuarsa dengan kokas (C) didalam tungku listrik pada suhu 3000ºC.
SiO2(l) + 2C(s) panas Si (l) + 2CO2 (g)
Untuk membuat semikonduktor diperlukan
silikon dengan kemurnian yang tinggi dan pengotor yang ada tidaak boleh lebih
dari 10-8%. Pembuatan silikon tersebut dimulai dengan pemanasan
silikon tidak murni, hasil rreaksi diatas, dengan gas klorin (Cl2).
Si
(s) + Cl2 (g) panas SiCl4(g)
SiCl4 memiliki titik didih
58ºC. Si dapat diperoleh kembali dari SiCl4 dengan cara melewatkan
uap SiCl4 dan gas H2 melalui sebuah tabung yang panas.
SiCl4(g) + 2H2 (g) panas Si (s) + 4HCl(g)
Si yang diperoleh berbentuk batangan
yang perlu dimurnikan lebih lanjut dengan cara pemurnian zona (zone refining) seperti pada gambar
berikut ini:
Gambar 4.7Pemurnian zona Silikon
Pada pemurnian zona batang silikon tidak
murni secara pelan-pelan dilewatkan kebawah mlalui kumparan listrik pemanas
yang terapat pada zona lebur. Karena pemanasan, maka ujung batang silikon tidak
murni mengalami peleburan. Pada zona peleburan, silikon murni dapat dianggap
sebagai pelarut sedangkan leburan silikon yang mengandung pengotor dapat
dianggap sebagai larutan. Berdasarkan sifat koligatif larutan maka titik lebur
silikon murni akan lebih tinggi dibandingkan titik lebur silikon yang
mengandung pengotor. Hal ini menyebabkan pengotor cenderung mengumpul di
silikon yang mengandung pengotor (bagian atas pada zona peleburan). Selama
pemurnian zona berlangsung maka bagian bawah yang merupakan silikon murni akan
bertambah banyak sedangkan bagian atas semakin sedikit. Pengotor yang ada akan
terkonsentrasi pada bagian yang sedikit ini. Setelah leburan mengalami
pembekuan maka akan diperoleh suatu batangan dimana salah satu ujungnya
merupakan silikon paling murni sedangkan ujung yang lain merupakan silikon yang dipenuhi dengan pengotor atau
silikon paling tidak murni.
a.
Semikonduktor
intrinsik
Semikonduktor instrinsik
dapat berupa semikonduktor instrinsik seperti Si atau Ge atau semikonduktor
intrinsik senyawa seperti GaAs atau CdS. Elektron-elektron pada pita valensi
yang terisi penuh di anggap tidak dapat bergerak bebas sehingga pada 0 K
semikonduktor intrinsik dapat dianggap tidak dapat mengahantarkan arus listrik.
Kenaikan temperatur akan meningkatkan energi termal elektron-elektron pada pita
valensi. Pada tempertur ruang sebagian kecil elektron-elektron pada pita
valensi memiliki energi termal yang harganya lebih besar dari energi ambang.
Elektron-elektron tersebut dapat tereksitasi secara termal ke pita konduksi,
seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 4.10Semikonduktor intrinsik pada temperature
ruang
Akibat
dari eksitasi termal tersebut pita konduksi terisi sejumlah kecil elektron,
sedangkan pada pita valensi akan terbentuk sejumlah kecil tempat kosong yang
disebut dengan lubang (hole) yang
bermuatan positif. Jumlah holeyang
terbentuk adalah sama dengan jumlah electron yang tereksitasi. Terbentuknya
sedikit tempat kosong pada pita valensi memungkinkan elektron-elektron pada
pita valensi untuk dapat bergerak meskipun tidak sebebas gerakan
elektron-elektron pada pita konduksi apabila semikonduktor diberi beda
potensial. Dapat bergeraknya elektron-elektron pada pita valensi dan pada pita
konduksi memungkinkan dapatnya semikonduktor intrinsik menghantarkan arus
listrik pada temperatur ruang, karena :
1. Gerakan elektron-elektron pada pita valensi tidak
sebebas gerakan elektron-elektron pada pita konduksi; dan
2. Elektron-elektron pada pita konduksi meskipun dapat
bergerak bebas tetapi karena jumlahnya sangat sedikit, maka daya hantar listrik
semikonduktorintrinsik selalu lebih rendah dibandingkan daya hantar listrik
logam.
Semikonduktor
intrinsik atausemikonduktor tipe-i merupakan
semikonduktor murni dimana pada kondisi kesetimbangan termal kerapatan atau
jumlah lubang (hole) pada pita
valensi dan kerapatan atau jumlah elektron pada pita konduksi adalah
sama.
a. Semikonduktor ekstrinsik
Semikonduktor ekstrinsik
dibuat dengan memberikan pengotor (dopant)
dalam jumlah kecil (dalam skala ppm) pada semikonduktor intrinsik unsur.
1.
Semikonduktor
tipe-p
Semikonduktor ini juga
disebut semikonduktor tipe akseptor karena pengotor yang ditambahkan menerima
electron-elektron dari pita valensi semikonduktor intrinsik lainnya.
Apabila semikonduktor tipe-p diberi beda potensial maka dapat
dianggap terjadi aliran hole yang
bermuatan positif. Berpindahnya holedari
satu posisi ke posisi yang lain menyebabkan terjadiya hantaran arus listrik
pada semikonduktor tipe-p.
Semikonduktor tipe-p dapat juga diperoleh dari
semikonduktor intrinsik senyawa apabila atom penyusun senyawa yang memiliki
keelektronegatifan lebih rendah jumlahnya dibuat lebih banyak dibandingkan
jumlah atom penyusun senyawa yang memiliki keelektrnegatifan lebih tinggi.
Galium arsenide (GaAs) merupakan semikonduktor senyawa dengan
keelektronegatifan atom Ga < As. Apabila jumlah atom Ga dibuat lebih banyak
maka diperoleh GaAs(1-x) (x<<1) yang merupakan semikonduktor
tipe-p.
2.
Semikonduktor
tipe-n
Semikonduktor ini juga
disebut semikondutor tipe donor karena pengotor yang ditambahkan memberikan
electron-elektron pada semikonduktor intrinsik aslinya.Semikonduktor tipe-n dapat juga diperoleh dari
semikonduktor intrinsik senyawa apabila atom penyusun senyawa yang memiliki
keelektronegatifan lebih rendah. Galium Arsenide (GaAs) merupakan semikonduktor senyawa dengan
keelektronegatifan atom Ga < As. Apabila jumlah atom As dibuat lebih banyak
maka diperoleh Ga (1-x) As (x<<1) yang merupakan semikonduktor
tipe-n.Gabungan dari semikonduktor
tipe-p dan tipe-n dapat digunakan untuk menghasilkan sinar laser.
2.4.2
Isolator
Seperti
halnya semikonduktor, pada isolator juga terdapat pita valensi dan pita
konduksi. Pembentukan pita-pita tersebut sama seperti pada semikonduktor.
Perbedaannya, pada semikonduktor energi termal yang dimiliki oleh
electron-elektron pada pita valensi memungkinkan untuk tereksitasinya sebagian
kecil electron dari pita valensi ke pita konduksi sehingga semikonduktor daapat
menghantarkan arus listrik. Electron-elektron yang tereksitasi ini energi
termalnya adalah sama atau lebih besar
dari energi ambang (
). Pada isolator energi termal yang
dimiliki oleh electron-elektron yang terdapat pada pita valensi lebih kecil
dari energi ambang sehingga tidak memungkinkan untuk tereksitasinya sebagian
elektrondari pita valensi ke pita konduksi. Electron-elektron pada isolator
menempati pita valensi yang terisi penuh, seperti pada gambar 4.24, sehingga
isolator tidak dapat menghantarkan arus listrik. Contoh dari isolator adalah
intan.
Gambar
4.24 C (intan) merupakan isolator karena pita valensinya terisi penuh
sedangkan pita konduksinya kosong
Energi
ambang untuk beberapa zat diberikan pada tabel 4.1. Pada tabel tersebut
terlihat bahwa
yang merupakan logam energi ambangnya adalah
nol. Energi ambang sebesar nol juga dimiliki oleh logam-logam yang lain.
Tabel
4.1 Energi ambang beberapa zat pada 0 K
Zat
|
Energi ambang (kJ/mol)
|
Zat
|
Energi ambang (kJ/mol)
|
-Sn
|
0
|
GaAs
|
145
|
Te
|
29
|
CdS
|
251
|
Ge
|
68
|
GaP
|
278
|
Si
|
106
|
C (intan)
|
579
|
Berdasarkan
tabel 4.1 tampak bahwa energi ambang semikonduktor Ge lebih rendah dibandingkan
semikonduktor Si sehingga daya hantar listrik semikonduktor Ge lebih baik
dibandingkan semikonduktor Si. Meskipun demikian yang lebih banyak digunakan
dalam membuat semikonduktor adalah Si karena kelimpahannya lebih banyak dan
harganya relative lebih murah dibandingkan semikonduktor Ge. Energi ambang dari
C (intan) adalah paling besar dan tidak mungkin diatasi oleh energi termal elektron sehingga C (intan) berlaku sebagai
isolator.
2.4.3.
Superkonduktor
Superkonduktor
adalah material yang memiliki resistans (tahanan) listrik nol. Superkonduktor
dapat menghantarkan arus listrik tanpa adanya pengurangan energi. Dengan kata
lain, arus listrik dapat mengalir selamanya tanpa pengurangan energi dalam
penghantar yang memiliki sifat superkonduktor. Sifat superkonduktor suatu
material hanya muncul dibawah temperatur tertentu yang disebut dengan
temperatur kritik (critical temperature),
Tc. Dibawah temperature kritik resistans listrik material turun secara
drastis menjadi nol. Untuk superkonduktor logam, dibawah temperatur kritik
logam memiliki sifat superkonduktor, sedangkan diatas temperatur kritik logam
memiliki sifat konduktor, sedangkan diatas temperatur kritik logam memiliki
sifat konduktor seperti gambar berikut :
Gambar
5.2 Perubahan sifat logam dari konduktor (di atas Tc) menjadi superkonduktor
(di bawah Tc)
a. Penggolongan superkonduktor
Superkonduktor
dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu super konduktor tipe I dan
superkonduktor tipe II. Superkonduktor tipe I ditandai dengan hilangnya secara
mendadak sifat superkonduktor material apabila medan magetik terpakai dengan
harga tertentu mengenainya. Superkonduktor logam termasuk superkonduktor tipe
I. Superkonduktor tipe II ditandai dengan hilangnya sifat superkonduktor
material secara berangsur-angsur apabila berada diatas harga medan kritik (Hc) tertentu.
Superkonduktor oksida logam termasuk dalam superkonduktor tipe II.
b. Sifat-sifat superkonduktor
Superkonduktor
memiliki sifat yang unik yaitu:
1. Dibawah temperatur kritik (Tc) memiliki resistans listrik nol.
2. Dapat menghantarkan arus listik dengan tingkat
efisiensi yang tinggi karena selama penghantaran arus listrik momentum pasangan
electron atau pasangan Cooper dapat dianggap tidak mengalami perubahan.
3. Menunjukkan efek Meissner.
4. Superkonduktor menolak medan magnetik eksternal secara
sempurna. Dengan demikian superkonduktor dapat dianggap bersifat diamagnetik
sempurna.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang didapat dari
isi makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Teori awan
elektron disebut juga elektron
bebas atau lautan elektron yang menjelaskan berbagai sifat fisika dari logam,
seperti logam dapat
ditempa, dapat dibengkokkan, direntangkan dan tidak rapuh, sifat mengkilap logam, sifat logam
yang dapat menghantarkan listrik, dapat menghantarkan panas, dan sifat logam
yang memiliki titik leleh dan titik didih tinggi.
2. Teori
ikatan valensi melibatkan pemakaian bersama
pasangan elektron oleh dua atom, yang menjelaskan bahwa ikatan logam
terbentuk karena adanya delokalisasi elektron valensi atom pusat yang berinteraksi
dengan atom disekelilingnya.
3. Teori pita menjelaskan
mengenai sifat logam sebagai konduktor, isolator dan semikonduktor.
4.
Semikonduktor
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu semikonduktor instrinsik (berupa
semikonduktor instrinsik unsur dan semikonduktor instrinsik senyawa) dan semi
konduktor ekstrinsik (berupa semikonduktor tipe-p dan semikonduktor tipe-n)
5. Superkonduktor merupakan material yang memiliki
resistans (tahanan) listrik nol, yang dapat menghantarkan arus listrik tanapa
adanya pengurangan energi.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendy. 2010.
Logam, Aloi, Semikonduktor, dan Superkonduktor. Malang: Banyumedia
Publishing
Petrucci,
R.H. 1987. Kimia Dasar : Prinsip dan
Terapan Modern. Jilid II Edisi ke empat (alih bahasa Suminar Achmadi).
Jakarta: Erlangga.
Sugiyarto, KH., dan Suyanti, Retno D.
2010. Kimia Anorganik Logam.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syarifuddin, Nuraini. 1994. Ikatan Kimia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar