Senin, 01 Februari 2016

CERPEN



MENGEJAR MIMPI DENGAN RIDHO ILAHI

Kisahku dan sahabat terbaikku. Kami sudah bersahabat sejak kecil, ia adalah sosok pemimpi, pekerja keras dan pejuang  yang pernah aku kenal. Yang aku kenal, bukan yang kalian kenal. Namanya Muhammad, aku memanggilnya Ahmad. Ia sekarang seusia denganku 17 tahun. Ia hidup dalam kesendirian, kemandirian dan kesedihan tanpa orang tua sejak usia 12 tahun, tanpa sanak saudara. Dan ia enggan tinggal dengan sepupu, bibi, kakek, nenek dan pakdenya.
“Aku tak ingin menjadi beban dan tak ingin berhutang budi dengan mereka. Karena aku takut tak mampu membalas budi mereka,” jawab Ahmad ketika suatu waktu aku menanyakan begitu padanya.
Ia lebih memilih sendiri, menempati rumah sepi di depan sawah luas membentang, yang ditemani pohon-pohon  jati yang setengah meranggas dan pohon kelapa yang tak begitu tinggi.  Rumah kami berdua dipisahkan oleh lima petak kandang sapi. Bau kotoran sapi selalu meruar setiap petang, sampai malam menemani dan meringkus hidung kami dengan bau kotoran mereka. Kami tahan, karena sejak kecil kami hidup berdampingan sapi – sapi itu.
Sapi-sapi itu milik orang tuaku, untuk menyambung hidupnya Ahmad memilih menjadi pengurus sapi - sapi itu. Ia bekerja setelah subuh berkumandang dan selesai sebelum azan magrib tiba . “Bismillah!” selalu iya ucapkan sebelum berangkat mengurusi sapi-sapi itu.
 Usai ia bekerja, ia langsung ke sawah milik orang tuanya yang hanya selebar 20 meter saja. Ah tak seberapa beras yang dihasilkan oleh padi-padi yang tumbuh di atas tanah sekecil itu. Paling hanya mampu digunakan untuk dirinya sendiri. Sesekali ia mengumpulkan barang – barang bekas dan menempelkan pelepah-pelepah pisang kering untuk dijadikan hiasan kerajinan tangan. Peluh, lelah, letih tak ia hiraukan.
Bila sudah malam dan sendirian, seringkali kudapati Ahmad tengah membersihkan bandul besar kalung peninggalan kedua orang tuanya. Bila sedang iseng, ingin rasanya kubuka bandul besar itu dan mengintip isinya tapi Ahmad selalu menolak.
“Mungkin saja isinya emas, Bisa dijual!” candaku
“Orang tuaku tidak pernah menyuruhku membuka kalung ini kecuali bila bandul ini terbuka sendiri!” begitu tegasnya.
Ya sudah, aku biarkan saja ia menjaga dan merawat kalung itu baik-baik untuk kemudian ia pakai lagi. Nampaknya kalung peninggalan almarhum orang tuanya mampu membuat ia agar terjaga dari mimpi buruknya. Sekolahnya hanya paket B, setelah lulus persamaan SMP, ia pun masuk paket C.
“Aku tak peduli dengan sekolah bergengsi, yang penting aku tak bodoh-bodoh amat!” serunya. Jelasnya saat orang tua kami mengajak Ahmad untuk sekolah disekolah negeri.
Sekali lagi, Ahmad tak ingin berbalas budi. Ah….., Ahmad.... keras sekali pendirianmu itu ? bukankah tak baik menolak bantuan orang lain? Tapi sepertinya Keputusan Ahmad benar, setahun setelah aku sekolah SMA, sapi-sapi Ayahku terkena Antraks, tak semua memang tapi cukuplah kami merugi. Menyekolahkan aku dan kedua adikku saja sudah membuat Ayah kami harus banting tulang tiga kali lipat. Baguslah dulu Ahmad menolak disekolahkan...
Karena ia sudah tidak lagi bekerja mengurusi sapi- sapi itu, aku pun bermaksud dating kerumahnya untuk menghiburnya. Aku melihat Ahmad sedang berdoa disaat sholat, sembari menangis dan mengatakan. “Ya Alloh, Ya robbi … cobaan apa lagi yang ku terima. Aku harus bekerja apa lagi untuk menyambung hidup ku yang masih panjang ini, cukup kau ambil orang tuaku”.katanya sambil menangis di hadapanku.
Setelah tak lagi mengurusi sapi- sapi itu, Ahmad memilih menghabiskan sisa subuhnya dengan duduk di pinggir aliran sungai kecil irigasi. Menantikan matahari terbit. Tapi ia buta akan arah angin, ia tunggu matahari di ufuk Barat.
Ahmad.... matahari tak akan terbit dari arah barat”. Jelasku.
“Taklah.... matahari terbit dari sini! Dulu sekali, waktu aku kecil, Ayahku pernah mengajakkumelihat matahari di sini!” tegasnya.
Ahmad.... ingatlah….. Lagipula kamu tak pandai benar menentukan arah mata angin. Percayalah padaku. Ini arah barat! Kalau matahari terbit di barat, kiamatlah kita!” jawabku kesal.
Tapi Ahmad bergeming, ia memunggungiku, tetap memandang hamparan Langit yang membentang seolah kubah besar yang menaungi bumi yang bulat. Ya sudahlah, aku putuskan untuk meninggalkannya. Berangkat ke sekolah. Tapi diam-diam kudapati air mata Ahmad menetes kebawah. Ah... ia pasti teringat dengan almarhum kedua orang tuanya. Apa lagi yang bisa kuperbuat selain memeluknya?
            Bintang kembali keperaduan sementara bulan menari-nari, bergoyang –goyang kecil seraya mindik-mindik di balik awan. Mengucapkan perpisahan pada malam.
“Lihat! Lihat! Setelah bulan itu tenggelam matahari pasti terbit!” Ahmad sumringah.
“Tapi berapa lamapun kau menunggu, matahari tak pernah muncul dari barat. Kecuali kiamat! Titik!” Ahmad tetap keras kepala, tidak mau mendengarkan kata – kataku.
Keesokan harinya pakde Mul datang untuk bertemu Ahmad.“kamu lihat Ahmad tidak?” tanya Pakde Mul padaku. “Tak tahulah, Pakde...! kataku.
“Memang Ahmad kemana? Tanya pakde.
Sudah dua hari ini aku belum bertemu dengannya”.Tak tahulah... rumahnya gelap terus....” jawabku.
Lantas aku dan Pakde Mul pergi kerumah Ahmad. Benar saja rumahnya gelap terus. Lantas aku mengetuki rumah Ahmad, tak ada sahutan. Pakde Mul berharap cemas menunggu. Tiba-tiba Ahmad muncul dari belakang rumah sambil menggenggam bandul peninggalan orang tuanya.
Wajahnya pucat melihat Pakde Mul. Ia menunduk.
Ahmad... kamu !(paakkkk…) lalu Pakde Mul menampar Ahmad. Sebelum ada tamparan kedua, aku segera melindungi Ahmad.
“Pakde apa - apaan ini?” tahu begini tak kuajak Pakde ke rumah Ahmad!”
“Pantas saja kamu aku panggil tak menjawab! Rupanya kamu mau ingkar!” kata pakde.
“Apa pula Pakde! Ahmad Kenapa? Ada apa!?” aku mulai kesal.
Kurasakan Ahmad menangis di punggungku. sahabatmu ini sudah menghianati kepercayaan Pakde! Dia bilang mau pinjam sapi untuk bajak sawah! Nyatanya sapi itu sekarang mati digorok orang!” kata pakde.
“Pakde dengarkan dulu penjelasanku! Sapi itu dicuri saat aku dan tidur!” jawab Ahmad.
“Makanya kerjamu tak becus! Hilang sapiku! Ganti sapiku! sembilan juta aku rugi!” Pakde Mul menjulurkan tangan kekarnya ke sampingku, tepat mengenai wajah Ahmad.
Sekuat tenaga aku menahan lengannya yang besar penuh otot. Apa daya tanganku? Aku tak mampu menahan laju tangannya yang besar. Aku didorongnya. Tersungkur ditanah, wajahku terjerembab, tersuruk ke dalam lumpur basah.
Disela-sela mataku yang kotor oleh lumpur, kulihat Ahmad dipukul Pakde Mul. Kalung bandul Ahmad terjatuh, susah payah Ahmad melindungi kalung itu agar tidak diinjak-injak oleh Pakde Mul. Maka aku bangkit dan mendorong Pakde Mul kencang-kencang. Benar kata orang, emosi mampu menjadi manusia lebih kuat. Sekarang aku emosi, tak terima sahabatku dipukuli oleh Pakdenya sendiri.
“Pakde! Ahmad itu keponakan kandung Pakde! Dia tak sengaja menghilangkan sapi itu! Jangan kau kejam kepada Ahmad!”kataku.
“Aku nggak peduli! Uang dan saudara tak ada hubungannya! Bulan depan kau harus  kembalikan uang sapiku, kalau tidak ku ambil rumahmu!” teriak Pakde Mul seraya berbalik badan pergi meninggalkan Ahmad yang menangis sesanggukan.
Berkali-kali Ahmad menghapus air matanya.“Aku tak berbohong, Demi Allah, orang tuaku tak mengajari aku berbohong!” tegasnya.
“Ya... aku mengerti!” aku langsung memeluk Ahmad.
Mencuri sepotong roti saja aku tak sanggup apalagi seekor sapi? Batinku menangis mendengar Ahmad berkata begitu.
Ahmad bekerja banting tulang  5 kali lipat untuk menggantikan sapi Pakde Mul. Tapi sekuat apa pun ia bekerja, pagi, siang, sore, malam. Uang sembilan juta tak mampu terkumpul dalam waktu satu bulan. Tanpa belas kasihan Pakde Mul merampas rumah Ahmad. Merebut akte rumah itu dan mengungkit-ungkit masa lalu.
“Dulu aku yang membelikan rumah ini untuk ibumu! Jadi jangan kau minta lagi! Beruntung aku tidak menagih lagi uang sapiku!” ucapnya pedas pada Ahmad.
Ahmad lemas tidak berdaya. “Apa yang harus ku perbuat ? Ya Robbi”…... Tanya dalam hati Ahmad
Kakeknya sendiri tak mampu membantu Ahmad. Ia hidup Sebatang kara dan sendiri. Ia hanya dibekali uang seratus ribu saja.
Ahmad tinggal di gubuk reyot dekat sawah, bila mandi ia pergi berkilo-kilo meter kesungai. Ia memilih berpuasa dan buka puasa dengan makan umbi-umbian untuk menghemat biaya pengeluaran.
Panennya gagal. Padi di sawah miliknya habis karena hama tikus. Hancur sudah hidupnya. Ia mencoba tegar seperti pejuang. Tapi Ahmad bukanlah tokoh fiksi. Ia bisa menangis meleburkan dukanya pada malam hari dan kembali menyekanya ketika menanti matahari.
Tapi ia tak juga bergerak dari duduk di tepi sungai irigasi. Menghadap ke barat, menantikan bulan hilang dan bergantian matahari.
“Kenapa kau tak mau mendengarkanku,? Matahari itu terbit dari timur! Dan kau sedang menghadap ke barat sekarang! Cobalah tengok ke belakang!”
Ahmad menoleh kebelakang. Semburat jingga menghambur dari balik pepohonan yang tinggi-tinggi dan rimbun yang menutupi kampung kami. Matahari pagi tertutup oleh pepohonan itu, maka Ahmad tak dapat melihat kemilaunya.
“Aku tahu matahari dari timur. Dan dulu disinilah Ayah pernah mengajak aku melihat matahari terbit”. Ucapnya dengan mata sendu.
“Kau hanya terjebak pada kenangan masa lalumu, Ahmad! Aku ingat betul! Dulu ayahmu mengajakmu ke sini untuk melihat matahari terbenam! Jangan lagi kau bolak-balik dengan bilang Ayahmu mengajak kau melihat matahari terbit! Aku ada bersamamu saat itu!” aku terengah. Gemas melihat semangat Ahmad luluh lantak perlahan-lahan.
“Dulu.... dulu Ayah pernah bilang! Kalau matahari terbit dari barat maka usailah hidup kita!”
“Astaghfirullah al-adzim! Ahmad! Inget Alloh SWT! janganlah kamu berkata begitu “ larangku.Ah... miris hati ini. Jadi selama ini Ahmad memang berharap matahari akan muncul dari barat.
Sudah hampir dua minggu aku tak melihat Ahmad, aku terlalu sibuk mengikuti bimbingan belajar di sekolah. Sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional. Baiknya aku menengok Ahmad. Lama tak kulihat ia pergi kesungai.
Benar dugaanku, Ahmad sudah tak ada disawah. Gubuk kecilnya sudah musnah. Berganti pohon jagung yang masih kecil –kecil dan seorang lelaki tua, sesepuh kampung kami tengah menyiangi rumput-rumput dipinggiran tanaman jagung itu.
maaf pak mau tanya” Ahmad ke mana, ya?”
“Sawah ini sudah dijual kepada saya... tak tahulah aku Ahmad ada dimana.” Jawabnya dikemudian melanjutkan kesibukannya.
Cemas ditubuhku pun mulai menjalar-jalar. Ahmad? Kamu dimana?  Kemana? Ya Alloh... lalai sekali aku menjaga sahabat kecilku satu-satunya. Aku terduduk lemas di dekat sungai irigasi. Matahari terbenam dari ujung perbukitan. Ah.... iya, kutunggu saja besok subuh disini. Bukankah setiap pagi Ahmad selalu menunggu matahari terbit dari Barat? Ia pasti kesini.
Lama kutunggu, Ahmad  tak juga muncul juga. Padahal bulan sudah mulai berganti bulan. Ke mana Ahmad! Ah, aku tak boleh menyerah. Esok hari, selepas subuh aku bergegas mengendarai motor agar lebih cepat sampai. Namun naas, aku menabrak gerobak milik seorang petani. Motornya tak begitu rusak tapi kakiku nyeri dan sakit. Kuangkat motor itu dan kudorong menuju sungai irigasi. Nyeri di kaki ini tak seberapa dibandingkan luka hati Ahmad. Tapi yang kutemui hanyalah kosong. Tak ada Ahmad  disana, sosok laki- laki yang menunggu matahari terbit dari arah barat.
Berhari-hari aku mencari sampai sepi mengigit sumsum. Aku rindu akan sosok Ahmad. Aku rindu bercanda dengannya meski matanya penuh kesedihan. Aku rindu memberinya nasehat, atau mungkin Ahmad jengah dengan segala nasehatku? Ujian Nasional yang semakin dekat pun tak kuhiraukan. Hidup tanpa gairah bila menjalani hari tanpa sahabat bukan?
Bulan sudah tenggelam, semburat jingga berpendar. Tak ada matahari terbit dihadapanku. Ya, matahari sudah tak bersahabat lagi, ia membiarkan Ahmad pergi entah kemana. Kulalui pagi itu dengan tercenung menatapi aliran sungai irigasi. Ketika berjalan menyusuri aliran sungai, ada seorang laki-laki muda yang ingin bunuh diri melompat dari atas jembatan. Aku langsung berlari menghampiri pemuda itu.
Hey ... apa yang kau lakukan?... sambil aku menariknya dan aku berkata “ingat kau itu masih muda, ingat  Alloh  SWT”. Ternyata pemuda itu Ahmad sahabatku yang selama ini aku cari. “Ahmad ... astafirulloh hal’azim....” dengan geram aku megatakan
“Ahmad sadarlah bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah”kataku.
 Dengan pasrah  Ahmad berkata. “ hidupku sudah tidak ada gunanya lagi rasanya, aku ingin mati saja hari ini orang  sepertiku tidak ada gunanya hidup didunia ini” kata Ahmad. “sadarlah sahabatku, masih ada  Alloh SWT, yang akan menolongmu . Dan aku sahabat terbaikmu yang selalu setia menemanimu disaat kau susah maupun gembira” kata ku. ”Apa? Alloh!…..  dimana Alloh sekarang? Lihat aku, hidupku  susah sampai sekarang. Katamu Alloh akan menolongku! Kata Ahmad. “Masalloh  Ahmad … Apa yang kau katakan? Sembari aku memukulnya.  Ya Alloh maafkan hambamu ini, yang telah melupakanmu sembari menangis penuh penyesalan. Ia pun sadar ,bandul peninggalan orang tua Ahmad itu terbuka  dan mengeluarkan cahaya sangat terang. Subhanalloh, didalamnya ada emas  bertuliskan lafal ALLOHHUAKBAR. Ahmad pun sadar dan tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.
“Aku akan berubah Ya Alloh, akan ku gappai semua mimpiku. Aku ingin menjadi orang yang sukses.ternyata meski aku hidup sendiri masih ada Engkau Ya Alloh” kata Ahmad sembari membangkitkan semangat.
10 tahun kemudian telah berlalu, aku pun menjadi seorang guru, setiap saat aku selalu teringat dengan sahabat kecilku itu .  Dengan kerja keras dan pantang menyerah dari Ahmad serta Ridho Alloh SWT, ternyata ia pun menjadi seorang perternak sapi yang sangat sukses. Ia mempunyai kurang lebih 1000 ekor sapi dan mempunyai berpuluh – puluh petak kandang sapi.
Disuatu ketika kami dipertemukan lagi dijembatan itu sambil melihat matahari yang terbit dari timur bukan dari barat. Dengan perasaan gembira kami pun bertakbir “ALLOHHUAKBAR”. Dan inget satu lagi Alloh itu melihat kita bukan dari hasil yang kita raih, melainkan Alloh SWT melihat kita dari bagaimana proses kita untuk meraih itu semua.    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar