MENGEJAR MIMPI DENGAN RIDHO ILAHI
Kisahku dan sahabat terbaikku. Kami sudah bersahabat sejak kecil, ia adalah sosok
pemimpi, pekerja keras dan pejuang yang pernah aku kenal. Yang aku kenal, bukan
yang kalian kenal. Namanya Muhammad, aku memanggilnya Ahmad.
Ia sekarang seusia denganku 17 tahun. Ia hidup dalam kesendirian, kemandirian dan kesedihan tanpa orang tua sejak usia 12 tahun, tanpa sanak
saudara. Dan ia
enggan tinggal dengan sepupu, bibi, kakek, nenek dan pakdenya.
“Aku tak ingin menjadi beban dan tak ingin berhutang
budi dengan mereka. Karena aku takut tak mampu membalas budi
mereka,” jawab Ahmad ketika suatu waktu aku menanyakan begitu padanya.
Ia lebih memilih sendiri, menempati
rumah sepi di depan sawah luas membentang, yang ditemani pohon-pohon jati yang setengah meranggas dan pohon kelapa yang tak
begitu tinggi. Rumah kami berdua dipisahkan oleh lima petak
kandang sapi. Bau kotoran sapi selalu meruar setiap petang, sampai malam
menemani dan meringkus hidung kami dengan bau kotoran mereka. Kami tahan,
karena sejak kecil kami hidup berdampingan sapi – sapi
itu.
Sapi-sapi itu milik orang tuaku, untuk menyambung hidupnya Ahmad memilih menjadi pengurus sapi - sapi itu. Ia bekerja setelah subuh berkumandang dan selesai sebelum azan
magrib tiba . “Bismillah!” selalu iya ucapkan sebelum berangkat mengurusi sapi-sapi itu.
Usai ia bekerja, ia
langsung ke sawah milik orang tuanya yang
hanya selebar 20 meter saja. Ah… tak
seberapa beras yang dihasilkan oleh padi-padi yang tumbuh di atas tanah sekecil
itu. Paling hanya mampu digunakan untuk dirinya sendiri. Sesekali ia mengumpulkan barang – barang bekas dan menempelkan pelepah-pelepah pisang kering untuk
dijadikan hiasan kerajinan tangan. Peluh, lelah, letih tak ia hiraukan.
Bila sudah malam dan sendirian,
seringkali kudapati Ahmad tengah membersihkan bandul besar kalung peninggalan kedua orang tuanya.
Bila sedang iseng, ingin rasanya kubuka bandul besar itu dan mengintip isinya
tapi Ahmad selalu
menolak.
“Mungkin saja isinya emas, Bisa dijual!” candaku
“Orang tuaku tidak pernah menyuruhku
membuka kalung ini kecuali bila bandul ini terbuka sendiri!” begitu tegasnya.
Ya sudah, aku biarkan saja ia menjaga
dan merawat kalung itu baik-baik untuk kemudian ia pakai lagi. Nampaknya kalung
peninggalan almarhum orang tuanya mampu membuat ia agar
terjaga dari mimpi buruknya. Sekolahnya hanya
paket B, setelah lulus persamaan SMP, ia pun masuk paket C.
“Aku tak peduli dengan sekolah
bergengsi, yang penting aku tak bodoh-bodoh amat!”
serunya. Jelasnya saat orang tua kami
mengajak Ahmad untuk sekolah disekolah negeri.
Sekali lagi, Ahmad
tak ingin berbalas budi. Ah….., Ahmad.... keras sekali
pendirianmu itu ? bukankah tak baik menolak bantuan orang lain? Tapi sepertinya
Keputusan Ahmad benar, setahun setelah aku sekolah SMA, sapi-sapi Ayahku terkena Antraks,
tak semua memang tapi cukuplah kami merugi. Menyekolahkan aku dan kedua adikku
saja sudah membuat Ayah kami harus banting tulang tiga kali lipat. Baguslah
dulu Ahmad
menolak disekolahkan...
Karena ia sudah tidak lagi bekerja mengurusi sapi- sapi
itu, aku pun bermaksud dating kerumahnya untuk menghiburnya. Aku melihat Ahmad
sedang berdoa disaat sholat, sembari menangis dan mengatakan. “Ya Alloh, Ya
robbi … cobaan apa lagi yang ku terima. Aku harus bekerja apa lagi untuk
menyambung hidup ku yang masih panjang ini, cukup kau ambil orang tuaku”.katanya
sambil menangis di hadapanku.
Setelah tak lagi mengurusi sapi- sapi
itu, Ahmad memilih menghabiskan sisa subuhnya dengan duduk di
pinggir aliran sungai kecil irigasi. Menantikan matahari terbit. Tapi ia buta
akan arah angin, ia tunggu matahari di ufuk Barat.
“Ahmad.... matahari tak akan terbit dari arah barat”.
Jelasku.
“Taklah.... matahari terbit dari sini!
Dulu sekali, waktu aku kecil, Ayahku pernah mengajakkumelihat matahari di
sini!” tegasnya.
“Ahmad.... ingatlah….. Lagipula kamu tak pandai benar menentukan arah mata angin.
Percayalah padaku. Ini arah barat! Kalau matahari terbit di barat, kiamatlah
kita!” jawabku kesal.
Tapi Ahmad bergeming, ia memunggungiku, tetap memandang
hamparan Langit yang membentang seolah kubah besar yang menaungi bumi yang
bulat. Ya sudahlah, aku putuskan untuk meninggalkannya. Berangkat ke sekolah.
Tapi diam-diam kudapati air mata Ahmad menetes kebawah. Ah... ia pasti teringat dengan
almarhum kedua orang tuanya. Apa lagi yang bisa kuperbuat selain memeluknya?
Bintang kembali
keperaduan sementara bulan menari-nari, bergoyang –goyang kecil seraya
mindik-mindik di balik awan. Mengucapkan perpisahan pada malam.
“Lihat! Lihat! Setelah bulan itu
tenggelam matahari pasti terbit!” Ahmad sumringah.
“Tapi berapa lamapun kau menunggu,
matahari tak pernah muncul dari barat. Kecuali kiamat! Titik!” Ahmad tetap keras kepala,
tidak mau mendengarkan kata – kataku.
Keesokan harinya pakde Mul datang untuk bertemu Ahmad.“kamu lihat Ahmad tidak?” tanya Pakde Mul padaku. “Tak tahulah, Pakde...! kataku.
“Memang Ahmad kemana? Tanya pakde.
“ Sudah dua
hari ini aku belum bertemu dengannya”.Tak tahulah... rumahnya gelap terus....” jawabku.
Lantas aku dan Pakde Mul pergi kerumah
Ahmad. Benar
saja rumahnya gelap terus. Lantas aku mengetuki rumah
Ahmad, tak ada sahutan. Pakde Mul
berharap cemas menunggu. Tiba-tiba Ahmad muncul dari belakang rumah sambil menggenggam bandul peninggalan orang tuanya.
Wajahnya pucat melihat Pakde Mul. Ia
menunduk.
“Ahmad... kamu !(paakkkk…) lalu Pakde Mul menampar Ahmad. Sebelum ada tamparan kedua, aku segera melindungi Ahmad.
“Pakde apa -
apaan ini?” tahu begini tak kuajak Pakde
ke rumah Ahmad!”
“Pantas saja kamu aku panggil tak
menjawab! Rupanya kamu mau ingkar!” kata pakde.
“Apa pula Pakde! Ahmad Kenapa? Ada apa!?”
aku mulai kesal.
Kurasakan Ahmad
menangis di punggungku. sahabatmu ini sudah menghianati kepercayaan Pakde!
Dia bilang mau pinjam sapi untuk bajak sawah! Nyatanya sapi itu sekarang mati
digorok orang!” kata pakde.
“Pakde dengarkan dulu penjelasanku!
Sapi itu dicuri saat aku dan tidur!” jawab Ahmad.
“Makanya kerjamu tak becus! Hilang
sapiku! Ganti sapiku! sembilan juta aku rugi!” Pakde Mul menjulurkan tangan
kekarnya ke sampingku, tepat mengenai wajah Ahmad.
Sekuat tenaga aku menahan lengannya
yang besar penuh otot. Apa daya tanganku? Aku tak mampu menahan laju tangannya yang besar. Aku
didorongnya. Tersungkur ditanah, wajahku terjerembab, tersuruk ke dalam lumpur
basah.
Disela-sela
mataku yang kotor oleh lumpur, kulihat Ahmad dipukul Pakde Mul. Kalung bandul Ahmad terjatuh, susah
payah Ahmad melindungi
kalung itu agar tidak diinjak-injak oleh Pakde Mul. Maka aku bangkit dan
mendorong Pakde Mul kencang-kencang. Benar kata orang, emosi mampu menjadi
manusia lebih kuat. Sekarang aku emosi, tak terima sahabatku dipukuli oleh
Pakdenya sendiri.
“Pakde! Ahmad itu keponakan kandung Pakde! Dia tak sengaja
menghilangkan sapi itu! Jangan kau kejam kepada Ahmad!”kataku.
“Aku nggak peduli! Uang dan saudara
tak ada hubungannya! Bulan depan kau harus kembalikan uang sapiku, kalau tidak ku ambil
rumahmu!” teriak Pakde Mul seraya berbalik badan pergi meninggalkan Ahmad yang menangis
sesanggukan.
Berkali-kali Ahmad menghapus air matanya.“Aku tak berbohong, Demi
Allah, orang tuaku tak mengajari aku berbohong!”
tegasnya.
“Ya... aku mengerti!” aku langsung memeluk Ahmad.
Mencuri sepotong roti saja aku tak sanggup apalagi
seekor sapi? Batinku menangis mendengar Ahmad berkata
begitu.
Ahmad bekerja
banting tulang 5
kali lipat untuk menggantikan sapi
Pakde Mul. Tapi sekuat apa pun ia bekerja, pagi, siang, sore, malam. Uang sembilan juta tak mampu
terkumpul dalam waktu satu bulan. Tanpa belas kasihan Pakde Mul merampas rumah Ahmad. Merebut akte rumah
itu dan mengungkit-ungkit masa lalu.
“Dulu aku yang membelikan rumah ini
untuk ibumu! Jadi jangan kau minta lagi! Beruntung aku tidak menagih lagi uang
sapiku!” ucapnya pedas pada Ahmad.
Ahmad lemas tidak berdaya. “Apa yang harus ku perbuat ?
Ya Robbi”…... Tanya dalam hati Ahmad
Kakeknya
sendiri tak mampu membantu Ahmad. Ia hidup Sebatang kara dan sendiri. Ia hanya dibekali uang seratus ribu saja.
Ahmad tinggal
di gubuk reyot dekat sawah, bila mandi ia pergi berkilo-kilo meter kesungai. Ia
memilih berpuasa dan buka puasa dengan makan umbi-umbian untuk menghemat biaya pengeluaran.
Panennya gagal. Padi di sawah miliknya
habis karena
hama tikus. Hancur sudah hidupnya. Ia mencoba tegar seperti pejuang. Tapi Ahmad bukanlah tokoh fiksi. Ia bisa menangis meleburkan dukanya pada malam hari
dan kembali menyekanya ketika menanti matahari.
Tapi ia tak juga bergerak dari duduk
di tepi sungai irigasi. Menghadap ke barat, menantikan bulan hilang dan
bergantian matahari.
“Kenapa kau tak mau mendengarkanku,?
Matahari itu terbit dari timur! Dan kau sedang menghadap ke barat sekarang!
Cobalah tengok ke belakang!”
Ahmad menoleh
kebelakang. Semburat jingga menghambur dari balik pepohonan yang tinggi-tinggi
dan rimbun yang menutupi kampung kami. Matahari pagi tertutup oleh pepohonan
itu, maka Ahmad tak dapat melihat kemilaunya.
“Aku tahu matahari dari timur. Dan
dulu disinilah Ayah pernah mengajak aku melihat matahari terbit”. Ucapnya dengan mata sendu.
“Kau hanya terjebak pada kenangan masa
lalumu, Ahmad! Aku ingat betul! Dulu ayahmu mengajakmu ke sini untuk melihat matahari
terbenam! Jangan lagi kau bolak-balik dengan bilang Ayahmu mengajak kau melihat
matahari terbit! Aku ada bersamamu saat itu!” aku terengah. Gemas melihat
semangat Ahmad luluh lantak perlahan-lahan.
“Dulu.... dulu Ayah pernah bilang!
Kalau matahari terbit dari barat maka usailah hidup kita!”
“Astaghfirullah al-adzim! Ahmad! Inget Alloh SWT! janganlah kamu berkata begitu “ larangku.Ah... miris hati ini. Jadi selama ini Ahmad memang berharap
matahari akan muncul dari barat.
Sudah hampir dua minggu aku tak
melihat Ahmad, aku terlalu sibuk mengikuti bimbingan belajar di sekolah. Sebentar lagi
aku akan menghadapi Ujian Nasional. Baiknya aku menengok Ahmad. Lama tak kulihat ia
pergi kesungai.
Benar dugaanku, Ahmad sudah tak ada
disawah. Gubuk kecilnya sudah musnah. Berganti pohon jagung yang masih kecil
–kecil dan seorang lelaki tua, sesepuh kampung kami tengah menyiangi rumput-rumput dipinggiran tanaman jagung itu.
“ maaf pak mau
tanya” Ahmad ke mana, ya?”
“Sawah ini sudah dijual kepada saya...
tak tahulah aku Ahmad ada dimana.” Jawabnya dikemudian melanjutkan
kesibukannya.
Cemas ditubuhku pun mulai
menjalar-jalar. Ahmad? Kamu dimana? Kemana? Ya Alloh... lalai sekali aku menjaga sahabat kecilku
satu-satunya. Aku terduduk lemas di dekat sungai irigasi. Matahari terbenam
dari ujung perbukitan. Ah.... iya, kutunggu saja besok subuh disini. Bukankah
setiap pagi Ahmad selalu menunggu matahari terbit dari Barat? Ia pasti kesini.
Lama kutunggu, Ahmad tak juga muncul juga. Padahal bulan sudah mulai berganti bulan. Ke mana Ahmad! Ah, aku tak boleh
menyerah. Esok hari, selepas subuh aku bergegas mengendarai motor agar lebih
cepat sampai. Namun naas, aku menabrak gerobak milik seorang petani. Motornya
tak begitu rusak tapi kakiku nyeri dan sakit. Kuangkat motor itu dan kudorong
menuju sungai irigasi. Nyeri di kaki ini tak seberapa dibandingkan luka hati Ahmad. Tapi yang kutemui
hanyalah kosong. Tak ada Ahmad disana, sosok laki- laki yang menunggu
matahari terbit dari arah barat.
Berhari-hari aku mencari sampai sepi
mengigit sumsum. Aku rindu akan sosok Ahmad. Aku rindu bercanda dengannya meski matanya penuh kesedihan. Aku rindu
memberinya nasehat, atau mungkin Ahmad jengah dengan segala nasehatku? Ujian Nasional
yang semakin dekat pun tak kuhiraukan. Hidup tanpa gairah bila menjalani hari
tanpa sahabat bukan?
Bulan sudah tenggelam, semburat jingga
berpendar. Tak ada matahari terbit dihadapanku. Ya, matahari sudah tak
bersahabat lagi, ia membiarkan Ahmad pergi entah kemana. Kulalui pagi itu dengan
tercenung menatapi aliran sungai irigasi. Ketika berjalan menyusuri aliran
sungai, ada seorang laki-laki muda yang ingin bunuh diri melompat dari atas
jembatan. Aku langsung berlari menghampiri pemuda itu.
Hey ... apa yang kau lakukan?...
sambil aku menariknya dan aku berkata “ingat kau itu masih muda, ingat Alloh SWT”. Ternyata pemuda itu Ahmad sahabatku yang selama
ini aku cari. “Ahmad ... astafirulloh hal’azim....” dengan geram aku megatakan
“Ahmad sadarlah bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah”kataku.
Dengan pasrah Ahmad berkata. “ hidupku sudah tidak ada gunanya lagi rasanya,
aku ingin mati saja hari ini orang sepertiku tidak ada gunanya hidup didunia ini”
kata Ahmad. “sadarlah sahabatku, masih ada
Alloh SWT, yang akan menolongmu . Dan aku sahabat terbaikmu yang selalu
setia menemanimu disaat kau susah maupun gembira” kata ku. ”Apa? Alloh!….. dimana Alloh sekarang? Lihat aku,
hidupku susah sampai sekarang. Katamu
Alloh akan menolongku! Kata Ahmad. “Masalloh
Ahmad … Apa yang kau katakan? Sembari aku memukulnya. “Ya Alloh maafkan hambamu ini, yang telah melupakanmu” sembari menangis penuh penyesalan. Ia pun sadar ,bandul peninggalan orang tua Ahmad itu terbuka dan
mengeluarkan cahaya sangat terang. Subhanalloh, didalamnya ada emas bertuliskan lafal ALLOHHUAKBAR. Ahmad pun sadar dan
tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.
“Aku akan berubah Ya Alloh, akan ku
gappai semua
mimpiku. Aku ingin menjadi orang yang sukses.ternyata meski aku hidup sendiri
masih ada
Engkau Ya Alloh” kata Ahmad sembari membangkitkan
semangat.
10 tahun kemudian telah berlalu, aku
pun menjadi seorang guru, setiap saat aku selalu
teringat dengan sahabat kecilku itu . Dengan kerja keras dan
pantang menyerah dari Ahmad serta Ridho Alloh SWT, ternyata ia pun menjadi
seorang perternak sapi yang sangat sukses. Ia mempunyai kurang
lebih 1000 ekor sapi dan mempunyai berpuluh – puluh petak kandang sapi.
Disuatu ketika kami
dipertemukan lagi dijembatan itu sambil melihat matahari yang terbit dari timur
bukan dari barat. Dengan perasaan gembira kami pun
bertakbir “ALLOHHUAKBAR”. Dan inget satu lagi Alloh itu melihat kita bukan dari hasil yang
kita raih, melainkan Alloh SWT melihat kita dari bagaimana proses kita untuk
meraih itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar